Minggu, 12 Mei 2013

Makalah difusi inovasi critical mass


CRITICAL MASS


PENDAHULUANm
Latar Belakang
            Bila kita berbicara tentang inovasi pendidikan, kita berbicara tentang perubahan. Perubahan adalah sesuatu yang tak terhindarkan pada kehidupan yang berkembang sangat pesat sekarang ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang  dengan pesat. Dengan kemajuan iptek tersebut, pendidikan juga ikut berubah. Kita harus mengubah orientasi pendidikan kita yaitu pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang mampu menyatu dengan lingkungan yang terus berubah, dan bukan sebaliknya, yaitu memisahkan manusia dengan lingkungannya. Secara sederhana inovasi adalah pembaharuan atau perubahan ditandai dengan adanya hal yang baru. Upaya untuk mencari hal yang baru itu diantaranya untuk memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian suatu idea atau temuan baru jika tidak menyelesaikan suatu masalah tidak bisa dklasifikasikan sebagai  suatu inovasi.
            Pada Bulan Mei 2013 ini, Bangsa Indonesia memperingati dua hari besar kenegaraan, yaitu Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei  yang lalu dan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei. Dimana pada bulan ini pemerintah menyampaikan ajakan untuk meningkatkan kemandirian bangsa, daya saing bangsa dan peradaban bangsa, serta kualitas dan akses berkeadilan pada hari pendidkan ini. Untuk menjadi bangsa yang maju, kita harus memiliki “The Critical Mass”, yaitu lapisan anak bangsa yang memiliki keunggulan dan daya saing yang tinggi. Oleh karena itu dua tujuan kembar dari pendidikan nasional kita. Pertama, mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi agar manusia Indonesia menjadi manusia yang berkemampuan dan unggul. Kedua, membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul, memiliki semangat dan etos kerja, bukan bangsa pemalas dan mudah menyerah.
Sebagai seorang pendidik yang berperan penting dalam kemajuan anak bangsa, pemerintah  menghimbau agar semua tenaga kependidikan terus menerus berusaha untuk menghasilkan anak didik yang pandai, berdaya saing, berkarakter kuat, dan bermental tangguh. Dalam hal ini, yang menjadi pekerjaan rumah bagi para guru di Indonesia, yaitu bagaimana peran para guru dalam mewujudkan anak didik yang pandai, berkarakter dan bermental tangguh, dan juga harapan Bangsa Indonesia terhadap pendidikan di negara kita. Untuk itulah dalam makalah ini penulis membahas critical mass. Karena sebagai tenaga Kependidikan, khususnya para guru diharapkan mampu untuk menghasilkan “The Critical Mass” yang merupakan modal bangsa untuk menjadi negara yang maju. Calon “The Critical Mass” atau lapisan anak bangsa yang unggul itu adalah para anak didik yang sekarang ini menjadi tanggung jawab dari bapak ibu guru di seluruh Indonesia.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas perumusan masalah yang akan dibahas definisi critical mass dan peranan pendidik dalam menciptakan critical mass
Manfaat penulisan
Memberikan gambaran tentang definisi critical mass dan peranan pendidik dalam menciptakan critical mass.





PEMBAHASAN
The Critical Mass
Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju, khususnya negara-negara di dunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikian merupakan penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan. Secara fisik pendidikan di dunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala strata dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek non-fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang diujudkan dalam bentuk kepercayaan yang tinggi pada "akal" dan teknologi, memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri, dan kepercayaan bahwa diri mereka  mempunyai  kemampuan (self efficacy) untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Belajar dari negara India dan Malaysia, mereka mengirimkan orang-orang ke luar negeri (negara maju tentunya) hanya untuk dapat menyediakan The critical mass tersebut. Walaupun tidak semua orang yang mereka kirim kembali ke negaranya, tetapi beberapa yang kembali mampu untuk membentuk the critical mass. Pada akhirnya Malaysia dan India menjadi negara yang lebih maju dari negara kita. Belajar dari hal tersebut, apakah kita harus mengirimkan warga negara sebanyak-banyaknya untuk membentuk The critical mass? Hingga pada saatnya nanti mereka akhirnya mau kembali lagi ke negaranya memajukan tanah air mereka? Apakah membentuk warga negara yang disiplin, beretos kerja tinggi harus dengan keluar negeri? Apakah pendidikan di negara kita tidak sanggup membentuk anak-anak yang cinta tanah air, disiplin, beretos kerja tinggi dan profesional? Kalau bicara tentang profesional khususnya penguasaan pengetahuan mungkin kita harus banyak menimba ilmu sampai keluar negeri. Namun tentang cinta tanah air, disiplin dan etos kerja, mungkin pendidikan negara kita  mampu membentuknya. Dalam dinamika sosial, critical mass adalah jumlah yang khalayak atau adaptor yang mengadopsi suatu inovasi dalam sistem sosial sehingga tingkat adopsi menjadi mandiri dan menciptakan pertumbuhan lebih lanjut.
Critical mass menurut Rogers.
            Teori Critical Mass biasa  dibilang adalah aspek lanjutan atau turunan dari teori Difusi Inovasi,Jumlah yang cukup memadai dari suatu adopter pada suatu inovasi dalam sistem sosial sehingga tingkat adopsi menjadi mandiri dan menciptakan pertumbuhan lebih lanjut, hal tersebut dituliskan oleh Everett Roger dalam bukunya yang berjudul "Difusi Inovasi". Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi critical mass mungkin melibatkan ukuran, keterkaitan dan tingkat komunikasi dalam masyarakat atau salah satu subkultur tersebut. Critical Mass mungkin lebih dekat dengan konsensus mayoritas di kalangan politik, di mana posisi yang paling efektif adalah lebih sering yang dipegang oleh sebagian besar orang dalam masyarakat. Dalam hal ini, perubahan kecil dalam konsensus publik dapat membawa perubahan cepat dalam konsensus politik, karena efektivitas mayoritas tergantung dari ide-ide tertentu sebagai alat perdebatan politik. Critical Mass adalah konsep yang digunakan dalam berbagai konteks, termasuk fisika, dinamika kelompok, politik, opini publik, dan teknologi.

Critical dari segi bahasa
Dalam kamus Bahasa Inggris, “Critical” berarti kritis/genting, sedangkan “Mass” diartikan massa (banyak sekali). The Critical Mass dapat diartikan sebagai kelompok warga negara yang mampu untuk mengentaskan negara dari keterpurukan/masa kritis menuju kebangkitan dan kemajuan bangsa. The critical mass adalah warga negara yang dicirikan: 1) mempunyai pikiran maju untuk membangun bangsa; 2) mempunyai disiplin tinggi; 3) mempunyai etos kerja yang tinggi dan 4) profesional.
Critical mass dalam dunia pendidikan.
Boediono(1995) mengungkapkan  critical mass adalah jumlah populasi terdidik pada tingkat pendidikan tertentu disuatu negara yang merupakan kunci kemajuan suatu bangsa dan merupakan cerminan tingkat kemajuan bangsa tersebut.
Peran dan Potensi Pendidik Dalam Critical Mass
Pembangunan pendidikan merupakan proses pembangunan masyarakat ekonomi. Critical mass yang dapat dicapai dalam pembangunan pendidikan akan meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dalam proses produksi dan distribusi sehingga akan memberikan sumbangan pada peningkatan kesejahteraan penduduk . Dari perspektif ini, pendidikan  adalah sebuah investasi, tepatnya investasi sumberdaya manusia (SDM).
Dalam era globalisasi ini dunia pendidikan mendapat tantangan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang diharapkan mampu berperan secara global. Pengaruh globalisasi dicirikan oleh adanya aliran manusia, informasi, teknologi, modal dan gagasan serta pencitraan. Keadaan ini mempengaruhi perubahan nilai kehidupan masyarakat, perubahan tuntutan dunia kerja terhadap lulusan, sehingga diperlukan lulusan yang memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu, teknologi dan seni, dunia kerja, profesi, serta /pengembangan kepribadian dengan ciri khas kebudayaannya masing-masing.
Potensi Guru dalam Membangun “The Critical Mass”
Pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai agen pembelajaran. Keempat kompetensi itu adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial (Syaefudin, 2008). Kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan oleh Standar Pendidikan Nasional. Kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar (Syaefudin, 2008).
Proses sertifikasi guru yang sedang berlangsung sekarang ini adalah suatu upaya untuk menuntut agar para guru benar-benar memiliki keempat kompetensi tersebut. Jika semua guru di Indonesia telah memiliki keempat kompetensi tadi, maka ini akan dapat menjadi modal bagi negara kita untuk membentuk “The Critical Mass”. Menurut John Stuart Mill, nilai suatu negara dalam jangka panjang adalah kumpulan nilai dari individu-individu yang terhimpun di dalamnya (Ibrahim, 2004). Tugas para guru Indonesia adalah menyiapkan individu-individu tersebut agar mempunyai “nilai”. Masa depan negara tergantung dari nilai/kualitas generasi muda sekarang ini. Generasi yang unggul tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak mudah menyerah, yang terwujud dalam karakter pribadi yang kuat.
Dalam sistem Tripusat Pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro, lingkungan pendidikan ada tiga, yaitu Keluarga (lingkungan rumah), Perguruan (lembaga pendidikan/sekolah) dan lingkungan masyarakat. Pada ketiga lingkungan tersebut, siswa dibina ke arah sosok yang diharapkan. Dari ketiga lingkungan tadi, lingkungan pendidikan (sekolah) merupakan lingkungan yang paling potensial dan paling penting dalam membangun “The Critical Mass” karena selain memberikan ilmu pengetahuan, para guru di sekolah mempunyai pengetahuan yang lebih banyak tentang perkembangan anak atau remaja. Pengetahuan ini merupakan modal bagi guru untuk melakukan pendekatan dan memberikan masukkan kepada anak didiknya. Terlebih lagi bagi siswa yang berasal dari keluarga dan lingkungan masyarakat dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah, lingkungan sekolah (guru) adalah faktor yang paling bertanggung jawab dalam membentuk “The Critical Mass”.
Guru dengan kompetensi pedagogik yang dimilikinya akan mampu memahami peserta didiknya dan bisa saja melebihi pemahaman para orang tua terhadap anak mereka sendiri. Hal ini dapat saja terjadi karena guru lebih banyak melihat  dan  mengamati bagaimana peserta didiknya berinteraksi dengan teman-temannya. Selain itu guru juga dapat mengenali potensi yang dimiliki peserta didik, yang bisa saja tidak tampak ketika anak berada di lingkungan keluarga. Dengan kelebihan tersebut maka seorang guru mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengoptimalkan potensi anak didik dan juga menumbuhkan serta meningkatkan sikap mental yang baik pada anak didiknya.
Potensi guru yang lain dalam membentuk “The Critical Mass” adalah  pada kompetensi kepribadian. Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik. Kemantapan dan kedewasaan seorang guru akan menampilkan kemandirian dalam bertindak, bijaksana dalam bersikap dan memiliki semangat/etos kerja yang tinggi. Apa yang dimunculkan dari sosok seorang guru di dalam pembelajaran akan diamati dan terekam di dalam pikiran dan perasaan peserta didik.
Optimalisasi Guru sebagai Pendidik dan Motivator
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh panutan bagi anak didiknya. Untuk menjadi seorang pendidik, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Mendidik berarti mentransfer nilai-nilai kepada peserta didik. Dengan keteladanan sikap dan tingkah laku gurunya, diharapkan akan tumbuh sikap mental yang baik kepada peserta didik (Sudarman, 2003). Motivasi adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri seseorang yang menimbulkan keinginan untuk melakukan sesuatu, dan bila dia tidak suka melakukan sesuatu tersebut maka akan berusaha meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Peranan guru sebagai motivator sangat penting dalam pembelajaran karena menyangkut esensi mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, dan juga menyangkut performance dalam arti personalisasi dan sosialisasi diri (Sudarman, 2003).
Guru sebagai pendidik merupakan posisi yang sangat dekat dengan anak-anak dan remaja, tetapi pada pelaksanaan pembelajaran seorang guru sering melupakan peran ini. Orientasi dan penghargaan masyarakat terhadap nilai akademik berimbas kepada pembelajaran yang cenderung hanya berfokus pada transfer ilmu pengetahuan dan melupakan tujuan pendidikan sebagai pembentuk karakter dan sikap mental peserta didik. Selain itu, beban materi pembelajaran dan keterbatasan waktu pembelajaran juga dianggap sebagai penyebab untuk melupakan peran guru sebagai pendidik tersebut.
Bukti bahwa para guru cenderung mengutamakan transfer ilmu pengetahuan adalah pemberian motivasi yang dilakukan guru kepada peserta didik lebih banyak berupa motivasi untuk mengajak anak didik tertarik dan termotivasi mengikuti pelajaran atau motivasi untuk belajar. Tujuan akhir dari motivasi ini adalah peserta didik menguasai materi yang dipelajari. Memang motivasi seperti ini yang selalu diajarkan kepada guru dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Selain itu dalam beberapa literatur tentang motivasi dalam pembelajaran cenderung hanya motivasi belajar yang dibicarakan, sehingga guru “hanya mengenal” motivasi belajar. Akibatnya, selama ini guru lebih banyak hanya sebagai motivator untuk menciptakan pembelajaran yang baik.
Dengan empat kompetensi yang dimiliki, seorang guru tidak hanya bisa sebagai motivator belajar saja, tetapi lebih luas lagi dapat menjadi motivator dalam membentuk karakter atau kepribadian peserta didik. Bahkan seorang guru mampu sebagai motivator dalam membentuk pribadi yang sukses, yang pada akhirnya membentuk “The Critical Mass”. Para guru bisa menjadi motivator-motivator yang potensial karena mereka lebih mengenal bagaimana karakter peserta didik sehingga guru dapat memberikan motivasi yang tepat dan berkesinambungan. Pribadi guru juga merupakan sosok yang dekat dengan peserta didik sehingga anak didik memiliki lebih banyak kesempatan mengamati dan berinteraksi langsung dengan model atau teladan mereka. Pemberian motivasi untuk membentuk karakter peserta didik (character building) seperti kesadaran diri, semangat kerja dan fokus pada tujuan/cita-cita akan sangat menguntungkan bagi guru sendiri. Setiap guru yang menjadi motivator dalam pembelajaran tidak hanya menghasilkan peserta didik yang termotivasi untuk mempelajari suatu mata pelajaran atau materi tertentu, tetapi lebih menyeluruh pada semua hal yang perlu dipelajari oleh peserta didik. Hal ini dapat terjadi karena dengan dengan kesadaran dan semangat baru peserta didik, mereka dengan kesadaran sendiri melakukan belajar dengan sungguh-sungguh.

Pembelajaran yang Membentuk “The Critical Mass”
Semua guru yang mengajar pada mata pelajaran apapun, baik tingkat satuan pendidikan SD, SMP atau SMA dapat berperan dalam membentuk “The Critical Mass”. Kuncinya hanya satu, yaitu kemauan dan kesadaran para guru untuk memasukkan perannya sebagai pendidik dan motivator ke dalam pembelajaran  sehingga akan terbentuk peserta didik yang cinta tanah air, disiplin dan mempunyai etos kerja tinggi. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru dalam pembelajaran membentuk “The Critical Mass”, antara lain:
a. Merancang pembelajaran dengan menggunakan metode tertentu sehingga dengan metode tersebut dapat menumbuhkan sikap mental yang baik pada peserta didiknya. Contohnya metode diskusi kelompok dalam pembelajaran yang berbasis problem solved akan mendidik peserta didik untuk bisa bekerja sama dalam kelompoknya dan menyatukan pendapat dalam satu kelompok sehingga diperoleh satu  jawaban yang sama. Dengan contoh pembelajaran seperti ini peserta didik mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana harus bekerja sama, saling menghargai pendapat dan fokus pada tujuan bersama. Hal tersebut sudah merupakan  satu contoh mendidik anak untuk bisa bekerja sama, menghargai orang lain dan fokus pada tujuan dalam melaksanakan tugas. Contoh yang lain, dengan metode penugasan akan mendidik anak agar disiplin dan tepat waktu dalam menjalankan pekerjaan/tugas mereka.
b. Memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada peserta didik untuk dapat mengekplorasi potensi diri. Pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat aktif baik secara fisik maupun aktif berpikir akan menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, dan tidak menjadikan mereka hanya sebagai obyek pembelajaran saja.
c. Mengajak peserta didik untuk mengambil pelajaran/teladan dari topik yang dibahas dalam pembelajaran. Misalnya dalam pembelajaran tentang sejarah penemuan teori-teori dalam ilmu fisika. Bahwa para ilmuwan harus memiliki keuletan dan semangat kerja keras serta tidak mudah menyerah yang akhirnya membawa mereka menjadi seorang penemu yang terkenal. Hal ini akan membawa peserta didik kepada suatu kesimpulan bahwa ketika mereka ingin berhasil, maka harus didasari dengan keuletan dan semangat kerja keras. Tanpa dibimbing oleh guru, peserta didik akan sulit mengenali keteladan dalam penemuan teori-teori fisika.
d. Selain menumbuhkan sikap mental positif, dalam pembelajaran juga dikenalkan bagaimana pengaruh sikap mental negatif. Misalnya dalam pembelajaran tentang pencemaran lingkungan. Bagaimana sikap tidak peduli dan egois masyarakat dalam membuang sampah di sungai atau menggunakan kendaraan bermotor dengan suara yang bising akan mengganggu dan bahkan membahayakan orang lain. Pembelajaran seperti ini akan membimbing peserta didik untuk berpikir bahwa setiap tindakan  harus dipertimbangkan bagaimana pengaruhnya pada diri sendiri ataupun bagi orang lain.
Melakukan pembelajaran yang dapat membentuk sikap mental yang baik, yang pada akhirnya membentuk “The Critical Mass” tidaklah sulit. Masih banyak sekali contoh-contoh pembelajaran yang lainnya yang semuanya itu tergantung dari kreativitas para guru.

KESIMPULAN
Pada dasarnya             critical mempunyai berbagai macam persepsi diantaranya menurut Rogers adalah  teori turunan dari teori Difusi Inovasi, teori ini menjelaskan bahwa untuk menggambarkan adanya jumlah kecukupan dalam mengadopsi suatu inovasi di dalam sistem sosial, seperti tingkat adopsi yang yang mulai mandiri serta berkembang untuk menciptakan pertumbuhan yang lebih lanjut The Critical Mass dapat diartikan sebagai kelompok warga negara yang mampu untuk mengentaskan negara dari keterpurukan/masa kritis menuju kebangkitan dan kemajuan bangsa. The critical mass adalah warga negara yang dicirikan: 1) mempunyai pikiran maju untuk membangun bangsa; 2) mempunyai disiplin tinggi; 3) mempunyai etos kerja yang tinggi dan 4) profesional.
Semua guru dapat berperan dalam membentuk “The Critical Mass”. Kuncinya hanya satu, yaitu kemauan dan  kesadaran para guru untuk memasukkan perannya sebagai pendidik dan motivator ke dalam  pembelajaran  sehingga akan terbentuk peserta didik yang cinta tanah air, disiplin dan mempunyai etos kerja tinggi. Dan melakukan pembelajaran yang dapat membentuk sikap mental yang baik, yang pada akhirnya membentuk “The Critical Mass”

DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarman. 2003. Agenda Pembaharuan  sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 
Everette M.Rogers. 1983 .  Diffusion of   Innovation. New  York: The Free  Press A Division of Macmilan Publishing Co.Inc
Ibrahim.2004. Inovasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjendikti
Udin, Syaefudin. 2008.  Inovasi Pendidikan. Bandung: Alpabeta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar